
Tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses lahirnya kebijakan atas pengelolaan hutan merupakan salah satu penyebab mengapa kebijakan yang ada cenderung mengesampingkan hak-hak masyarakat terhadap hutan. Oleh karena itu masyarakat lokal yang tinggal disekitar areal konsesi HPH/HTI, Transmigrasi, kawasan lindung dan perkebunan besar mengalami persoalan-persoalan mendasar seperti : (1). tersingkirnya hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan yang telah menjadi bagian kehidupannya secara turun temurun, (2). tidak adanya perhatian serius dari penentu kebijakan dalam memahami, menemukan dan mencari solusi yang adil terhadap masalah pengelolaan sumberdaya hutan, (3). adanya tindakan pemerintah dan swasta yang memang tidak perduli terhadap keberadaan masyarakat lokal dan hak-hak adatnya, sehingga berbagai cara dilakukan untuk menaklukkan masyarakat lokal, (4). lemahnya kedudukan masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan dan masih kurangnya pengetahuan mereka tentang posisi mereka dalam rangka kebijakan dan peraturan perudangan nasional, (5). lemahnya pengorganisasian didalam komunitas masyarakat adat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak bijaksana dalam pengelolaan sumber daya alam.
Hak masyarakat adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumber daya alam diwilayahnya lazim dikenal sebagai hak ulayat. Hak ulayat memberikan kewenangan untuk mengatur dan merencanakan penggunaan sumberdaya, menetapkan hubungan-hubungan hukum anggotanya dengan sumberdaya serta mengurus persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya oleh orang luar.
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh masyarakat dan pemetaan kawasan adat mempunyai dasar hukum yang jelas dalam sistem hukum indonesia. “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat ( Pasal 33 ayat 1 UUD 1945)”. Jelas bahwa konsep penguasaan negara atas SDA harus me “nomor satu” kan kemakmuran rakyat. Hal ini dijabarkan lebih rinci pada pasal 2 ayat 4 dan pasal 3 UU No. 5 tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria dan pasal 5 UU No. 5 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan. Instruksi Mendagri No. 46 tahun 1994 tentang Pemasyarakatan Pola Tata Desa dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/KPTS-H/1995, semakin memberi peluang yang besar terhadap kegiatan pemetaan tanah adat oleh masyarakat adat setempat.
Pemetaan Partisipatif merupakan suatu metode pembuatan peta yang menggabungkan peta-peta modern dengan peta-peta mental tata ruang tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat (Sirait, 1996). Secara filosofis, peta hanya merupakan apa yang dinamakan “ Sumber Daya Kewenangan” yang dipakai oleh negara untuk melaksanakan kekuasaannya, maka memindahkan ketrampilan pemetaan kepada masyarakat lokal merupakan alat pemberdayaan, dan menyeimbangkan monopoli sumber-sumber kewenangan oleh negara (Peluso, 1994 : 7). Oleh karena itu pemetaan partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal secara utuh, merupakan proses transfer teknologi yang memberikan kewenangan kepada mereka untuk menyampaikan sudut pandang tentang hak atas tanah dan sistem pengelolaan sumber daya alam kepada penguasa. Pemetaan oleh masyarakat juga termasuk upaya konservasi atau proteksi terhadap masyarakat adat atas tanah ulayat mereka dari ancaman luar seperti HPH, HTI dan Perkebunan Besar lainnya. Pemetaan partisipatif dimaksudkan untuk menciptakan landasan yang kuat bagi kerja basis dan advokasi kebijakan yang membela hak-hak masyarakat lokal, khususnya sebagai landasan untuk menggugat kembali hak-hak masyarakat adat atas wilayah tertentu yang secara sepihak ditetapkan sebagai tanah/hutan negara. Oleh karena itu pemetaan partisipatif diharapkan menjadi alat dalam pengorganisasian masyarakat dari tingkat kesatuan sosial paling bawah (kampung/dusun) sampai yang paling tinggi (marga/suku).
Source: http://lembarindonesia.wordpress.com/2008/07/15/pemetaan-partisipatif-sebagai-alat-desain-keruangan-dan-kewenangan-kelola-desaadat/
0 komentar:
Post a Comment