
Kemarin saya diminta oleh ACF (Action Contre la faim) untuk melatih masyarakat Cipinang Besar Utara mengenai pemetaan risiko bencana berbasis masyarakat. Kebetulan ACF menjlankan program kesiapsiagaan banjir di tiga kelurahan di Jakarta.
15 masyarakat dilatih, mereka berasal dari RW-RW yang rawan bencana dikelurahan tersebut.
Kelima belas masyarakat tersebut selanjutnya di bagi tiga kelompok. Masing-masing kelompok diminta memetakan daerah RW yang terawan, yaitu RW 02, 04 dan 12. Nah, kebetulan, pada sesi pertama (memetakan satu kelurahan) kelompok tersebut bisa dikatakan kelompok dengan kaum wanita, anak muda dan kaum bapak.
Peta yang mereka buat adalah peta mental atau peta persepsi, jadi tidak mengutamakan skala. Skalanya ada pada memori dan pemahaman mereka yang ada dalam pemikiran mereka.
Hasilnya?
Kelompok 1 yang mayoritas ibu-ibu lebih mengutamakan kerapian dan detil-detil yang menurut mereka harus ada, misalnya klinik/praktek dokter dan sekolah.
Kelompok 2 yang beranggotakan kaum bapak diatas paruh baya dan juga menjadi pengurus di RW masing-masing, sejak awal mengutamakan keakurasian dari batas RW. Gambar kemudian hapus dan gambar lagi, hapus lagi dan terus begitu diiringi perdebatan sengit terkait batas. Karena cenderung senang menggunakan penggaris maka hasilnya terlihat seperti peta penunjuk lokasi pernikahan. Saya rasa mereka menggunakan penggaris karena ingin mendapatkan data yang akurat.
Kelompok 3 yang digawangi anak-anak muda kuliahan, kebingungan karena mereka merasa kurang pede untuk menggambar daerahnya. Menurut mereka karena mereka tidak pernah ke RW lain selain RW-nya. Nah loh. Petanya terlihat menggunakan warna-warna cerah dan kurang isi.
Pada sesi 2 mengambarkan RW terawan, terjadi perubahan komposisi anggota. Pembuatan peta ini dilaksanakan dengan melakukan observasi lapangan. Mereka berjalan menyusuri RW yang menjadi tugas mereka.
Hasilnya?
Sudah terlihat perkembangan dari unsur-unsur peta. Sudah lebih terlihat peta.
Kelompok 1:
Sudah berhasil mendapatkan daerah yang sering terkena banjir. Mereka mengarsir daerah tersebut dengan warna merah, kemudian menempatkan angka-angka yang merujuk ketinggian banjir yang terjadi pada saat banjir besar tahun 2007. Menempatkan titik-titik yang memiliki arus yang deras, mereka menjelaskan biasanya lokasi yang berarus deras karena terjadinya tumbukkan arus dari arah yang berbeda dan juga ada yang karena tumbukan dari arus yang asalnya berbeda, yaitu Kali Cipinang dan Kali Bau (Kali bau merupakan penamaan terhadap kanal atau got besar yang sangat bau, jadi bukan kali dalam artian sesungguhnya).
Jalur evakuasi dan tempat-tempat evakuasi tergambar dengan jelas.
Kelompok 2:
Mereka berhasil menzonasi ketinggian air berdasarkan tiga warna berbeda, merah untuk yang tinggi, kuning sedang dan hijau untuk yang ringan. Peta ini juga merujuk pada banjir tahun 2007.
Mereka menempatkan posisi-posisi pemasangan tali untuk evakuasi, namun sayang mereka tidak menempatkan arah evakuasi, sehingga timbul sedikit perdebatan tentang kemana mereka menuju saat banjir.
Kelompok 3:
Mereka juga berhasil menzonasi daerah yang sering terkena banjir, namun masih sedikit membingungkan karena mereka tidak menggambarkan dengan jelas, sehingga perdebatan hangat terjadi untuk membahas zona ini.
Arah evakuasi tergambar jelas.
Kesimpulan Umum:
Dari ketiga RW, RW 12 masih memiliki daerah yang tidak terkena banjir, juga saat banjir besar 2007. Hanya saja daerah tersebut terisolir, karena daerahnya menjadi ”pulau” ditengah banjir, mungkin inilah kenapa ada jalan yang bernama Cipinang Pulo di RW 12 ini.
Sedangkan kedua RW lainnya hanya sedikit area yang tidak terkena banjir.
Tempat evakuasi, kecuali RW 12 berada diluar RW-nya sendiri. Bahkan ada yang ke Kelurahan lain yaitu Kelurahan Cipinang Besar Selatan.
Masyarakat yang menjadi peserta memiliki memori keruangan yang baik, walaupun beberapa ada yang harus di stimulus terlebih dahulu.
Berikut ini kutipan pendapat peserta tentang pelatihan risk zapping, sayang mereka tidak menuliskan namanya di kertas yang berisi pendapat ini.
“Kesan saya mengikuti acara pelatihan pemetaan lapangan resiko bencana: acaranya cukup baik, setidaknya menjadikan saya lebih mengenal wilayah RW dan RT”
“Kesan saya mengikuti acara ini: Saya jadi lebih kenal wilayah saya dan tau tempat-tempat yang aman jika bencana terjadi”
“Kesan saya mengikuti acara ini: Sangat baik dengan adanya acara seperti ini pelatihan pemetaan, sangatlah bagus karena kita bisa lebih kenal batas-batas RT dan kita bisa lebih tau tempat-tempau evakuasi”











0 komentar:
Post a Comment