Dalam tayangan tersebut, Jepang mampu bertahan disaat gempa yang sedemikian besar dan tidak terduga itu terjadi. Terlihat kesiapan pemerintah, masyarakat dan pelayanan darurat, dan yang utama adalah informasi gempa sudah diterima masyarakat dalam hitungan detik dan system darurat segera diaktifkan. Penduduk Jepang tahu apa yang harus mereka lakukan dan kemana mereka mencari tempat aman.
Gempa yang terjadi di plate eurasia dan pasifik ini sesungguhnya membuat komunitas Jepang terperangah, karena sebelumnya mereka tidak memiliki pengalaman gempa sedemikian besarnya.
Gelombang gempa yang terdiri dari dua gelombang yaitu P dan S menggoyang Jepang. Gelombang P segera setelah terjadi tumbukan menjalar dengan cepatnya, dan terjadi hanya sebentar. Kemudian disusul gelombang S yang menjalar dengan lebih lambat, namun lebih lama. Gelombang S ini juga diluar perhitungan, seorang ahli gempa yang mengalami gelombang S itu awalnya hanya mengira dalam hitungan detik namun goyangan terus terjadi dan terus terjadi tidak kurang dari 5’.
Disaat bumi masih berguncang, raksasa lain datang dengan kegarangannya, Tsunami datang. Hal ini harus menjadi bahan pertimbangan di Indonesia bahwa patahan dimana terjadinya tumbukan sangat dekat dengan pesisir, worst case scenario harus dibuat karena tsunami bisa datang dengan cepatnya.
Sejatinya pesisir pantai di daerah yang terhantam tsunami sudah memiliki tembok penghadang tsunami setinggi 3-3.5 meter sehingga menurut warning yang beredar dari institusi berwenang di Jepang tsunami yang setinggi 3 meter tidaklah terlalu berbahaya. Namun apa lacur, gempa yang kuat membuat tanah pesisir mengalami subduksi lebih dari 1 m.
Peristiwa yang dikenal liquifaction terjadi dibeberapa tempat, sebuah video yang direkam oleh wisatawan memperlihatkan bagaimana retakan terjadi dan retakan itu bergerak maju dan mundur, kemudian diiringi dengan terjadinya rembesan air di sebuah taman.
Gempa tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang berarti, namun tsunami yang membuat buruk situasi. Pembangkit tenaga nuklir Fukushima selamat dari gempa, operasional secara otomatis berhenti disaat terjadi guncangan. Namun karena subduksi dan tsunamilah yang membuat pembangkit ini terkapar dan mencemari lautannya.
Kesimpulan dan pembelajaran buat Indonesia:
1. Worse case scenario perlu dipertimbangkan dibangun didaerah pesisir yang rawan tsunami, dengan mempertimbangkan subduksi, hazard ikutan atau sekunder (ingat kasus merapi tahun 2010? Penanganannya boleh dibilang bagus sehingga presiden SBY mampu menyabet penghargaan tertinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana yaitu Global Champion namun keteteran dalam penanganan hazard sekunder yang berupa lahar dingin. Terkesan gagap sekali).
2. Perlu dibuat peta evakuasi tsunami di daerah rawan bencana secara holistik dan juga infrastruktur pendukungnya (tanda-tanda arah, lokasi aman, lokasi pertolongan dll).
3. Peneliti dan perguruan tinggi diharapkan sumbangsihnya, tidak hanya menyimpan hasil penelitian di laci saja dan hanya untuk mendapat gelar, tapi menggunakannya untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian bila terjadi lagi dikemudian hari.
4. Penguatan kapasitas para praktisi kebencanaan (BNPB, BPBD, PMI, dll.) perlu dilakukan dengan ranah pra, saat dan pasca bencana.
5. Penguatan kapasitas BMKG yang mendapatkan amanah untuk memberikan warning tsunami di Indonesia sehingga bisa lebih cepat dan real time dalam penyampaiannya.
6. Sabar dan mau menjadikan kejadian sebagai pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Serta tidak patah semangat dengan wacana Tuhan tidak suka dengan upaya manusia dalam mengurangi risiko bencana, justru Tuhan memerintahkan manusia sebagai Khalifah menggunakan keilmuan dan kemampuan berfikirnya untuk mengelola alam dan akhirnya menjadi rahmat bagi semesta alam.▲
Tweet
Silahkan memberikan komentar anda mengenai tulisan ini disini, atau di boks dibawah tulisan ini, terima kasih.
GPS murah di sini, kontak: tracknavigate[at]yahoo[dot]com

0 komentar:
Post a Comment