Saat saya baru saja akan kembali ke Jakarta dari Manado, setelah asesmen untuk program kesiapsiagaan bencana dan upaya penguranagn risiko bencana/kesehatan masyarakat di Minahasa Selatan dan Sangihe, saya dikejutkan dengan berita musibah jebolnya tanggul Situ Gintung, Ciputat, Tangerang Selatan.
Terlebih, boleh dikatakan kejadian ini terjadi dihalaman belakang rumah saya. Kebetulan saya tinggal beberapa kilometer dari lokasi kejadian.
Hari Sabtu, setelah saya sampai Jakarta, saya langsung meluncur ke lokasi. Lapor ke Korlap setempat (Drg.Fuad Pahlevi – Sukarelawan PMI Cab. Kab. Tangerang), karena biar saya dari PMI Pusat, etika dan SOP-nya memang saya harus lapor dan menanyakan situasi terakhir dilokasi yang nantinya saya lanjutkan ke kantor saya. Di lokasi, saya bertemu dengan kawan dari PMI Pusat (Div. Pelayanan Sosial dan Kesehatan) Sdr.Kurniawan yang kebetulan sudah sejak kemarin (Jum’at) sudah berada di lokasi.
Setelah mendapatkan info, saya dan Kurniawan langsung menuju lapangan untuk melihat situasi, mencari koordinat lokasi kejadian dan melihat apa saja yang telah dilakukan kawan-kawan dari badan kemanusiaan lainnya.
Teman-teman dari MER-C, BSMI, BSM BB, dan pecinta alam juga CSR, telah hadir dan membuka posko.
Terperangah dengan kondisi situ yang nyaris habis airnya dari situ yang sedemikian luasnya, membuat saya merinding membayangkan amukan air bah Situ Gintung.
Setelah melihat kerusakan yang terjadi, saya kembali ke Posko Inti di STIE AD (Ahmad Dahlan). Menggali informasi terkait demografi area terkena dampak.
Saya dapatkan informasi yang lebih mencengangkan lagi, ternyata tim asesmen PMI kesulitan mendapatkan data, terutama peta desa. Mencari info ke masing-masing RT dan RW, ternyata mereka tidak memiliki peta daerahnya. Ke kelurahan/balai desa sama, mereka tidak memiliki peta. Tidak menyerah, akhirnya dapatlah peta, untunglah saat ini mendekati pemilu jadi ada peta rencana TPS setempat. Jadi, peta itulah yang jadi acuan.
Kekacauan lain adalah mengenai jumlah KK, Jiwa, dan mereka yang tidak terdata di RT/RW karena tidak melaporkan kedatangannya. Misalnya mahasiswa yang kost atau sanak famili masyarakat yang menginap (bisa jadi, karena saat itu sedang libur panjang).
Sebenarnya, hal ini bisa dihindari bila memang desa/kelurahan setempat memiliki data yang termutakhirkan, peta yang juga dimutakhirkan dan yang pasti, disini membutuhkan peran serta Ketua RT/RW yang aktif dalam memutakhirkan hal tersebut. Juga peran warga yang berbisnis menyediakan tempat kost, agar melaporkan keluar masuknya penyewa kost-nya ke RT/RW setempat.
Peristiwa serupa bukan tidak mungkin bisa terjadi di daerah lain (Ya Allah Yang Maha Pengasih, mudah-mudahan tidak terjadi lagi), ambil contoh Situ Sasak Ciputat yang bertetangga dengan Situ Gintung, sudah beberapa kali mengalami kebocoran dan hanya ditambal seperlunya, padahal di bawahnya terdapat pemukiman padat dan komplek Depag. Apakah kelurahan/desa setempat memiliki peta? Data demografi yang termutakhirkan dan yang penting, mudah diakses kapanpun?. Wallahu Alam.
Harus segera diambil tindakan Upaya Pengurangan Risiko di daerah rawan bencana. Petakan Situ-situ peninggalan Belanda yang ada dan juga petakan Risiko bencananya. Dan ini membutuhkan kerjasama yang erat antara Pemerintah, Badan Kemanusiaan, Masyarakat dan Perusahaan melalui CSR-nya. Mari mulai sekarang juga.
Dimana koordinat jebolnya Situ Gintung: Inilah 6°18'5.68"S 106°45'47.09"E
semoga bencana bencana seperti ini tidak terulang lagi.. :(
ReplyDelete