Pengalaman selama menjalankan program Pertama di PMI, saya tidak pernah menemui hal seekstrim ini, yang ada adalah orientasi isi peta yang dibuat kelompok perempuan cenderung berbeda dengan yang dibuat kelompok laki-laki. Misalnya, kaum perempuan cenderung mengisi/menggambarkan hal-hal yang selalu dikunjungi untuk keluarganya (posyandu, tempat pengajian, pasar, sekolah anak, rumah sakit/klinik). Berbeda dengan laki-laki yang umumnya menggambarkan hal-hal berupa bengkel, atau tempat-tempat dia sering berkumpul.
Memang satu dua ada juga wanita yang tidak bisa membaca peta atau menerjemahkan arah yang diberikan, atau memberikan arah kepada orang lain. Seperti halnya ada juga laki-laki yang seperti ini, mengenai jumlahnya? adakah teman-teman pembaca yang bisa membantu saya?.
Itu dari pengalaman saya, tetapi ada beberapa penelitian yang mengungkapkan memang perempuan tidak bisa membaca peta. Ada hal yang menarik, sebuah tulisan mengenai Gay tidak bisa membaca peta (pernah dimuat di blog saya, dibawah kategori peta). Hasil studi yang dilakukan oleh University of East London dan publikasikan dalam jurnal Behavioural Neuroscience, awal tahun ini. Studi mereka mengklaim bahwa pria gay dan wanita heteroseksual memiliki kemampuan yang miskin dalam membaca peta, walah.
Salah satu kegunaan dari peta berbasis jender dalam upaya pengurangan risiko bencana dan masalah kesehatan masyarakat adalah mengetahui peran/pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, selain komponen ancaman, kerentanan dan kapasitas tentunya.
Dengan mengetahui peran ini maka intervensi yang akan dilakukan akan lebih baik, apa lagi kaum perempuanlah yang biasanya paling terkena dampak dari bencana. Apalagi dengan konsep pemetaan partisipatif, belajar bersama dan beraksi bersama.
0 komentar:
Post a Comment