
Benarkah GPS tak dapat sepenuhnya menggantikan fungsi kompas biasa?
Bukankah alat canggih yang mahal itu berbasis teknologi satelit?
Rasa penasaran itu mendorong Redaksi Eiger Adventure News menggelar percobaan kecil.
Global Positioning System/ Inilah cara penentuan koordinat di muka bumi dengan prinsip triangulasi biasa, tapi memanfaatkan satelit untuk menentukan koordinat. Dalam triangulasi 2 dimensi, jika 2 titik yang diketahui koordinatnya kita ‘tembak’ untuk mencari sudut kompasnya, maka akan diketahui koordinat tempat kita berada, yaitu perpotongan perpanjangan kedua sudut. Dalam GPS, yang dibidik ada jauh di atas sana, jadi medan triangulasi kita menjadi 3 dimensi. Maka diperlukan titik ketiga. Pesawat penerima GPS harus dapat menerima sinyal dari minimal 3 satelit. Di sini lah kesulitan umum pengguna GPS di lapangan: tidak memperoleh sinyal. Seluruhnya ada 24 satelit (milik Amerika Serikat) di orbit bumi yang memancarkan sinyal GPS. Tapi ada yang sedang berada di sisi lain dari bumi. Sebagian lagi terlalu dekat ke horison sehingga tak tertangkap sinyalnya. Tinggal beberapa yang ada di seputaran kepala kita. Di samping itu ada beberapa hambatan yang bisa menghilangkan sinyal. Antara lain awan tebal, pepohonan yang kelewat rapat, dinding lembah yang terlalu curam dan tinggi (termasuk juga gedung-gedung pencakar langit).
Lembah Cikole Kami pilih kawasan Cikole untuk ajang percobaan. Kebetulan kami punya peta topografi salah satu tujuan wisata di daerah Lembang, Jawa Barat itu, yang hanya sekitar 1 jam dengan kendaraan bermotor dari Bandung. Selain itu, tanpa perlu berjalan jauh kita dapat menemukan lembah curam dan kawasan dengan pepohonan berkanopi rapat. Kami mulai dengan mengambil koordinat di tempat parkir, dekat aula bertiang bambu beratap ijuk, bekas perayaan pernikahan anak Aswin Sani, penerjun klub Aves Bandung.
Titik 123034’LS 100021’BT itu kami plot di peta skala 1:25.000, dengan bantuan roamer. Lalu kami tentukan sasaran, suatu titik di lembah sebelah utara. Hasil plotnya di peta 122012’LS 100012’BT. GPS diset goto koordinat itu, dan kami bertujuh mulai bergerak menuju sasaran. Jaraknya kami perkirakan 300 m. Sedangkan kalkulasi GPS mengatakan jarak kedua koordinat tadi 280 m. Cukup mirip, karena tingkat ketelitian GPS saat itu 10 m. Teorinya, angka jarak di GPS akan terus mengecil, hingga menjadi 0 jika sampai di koordinat tujuan.
Sekitar setengah jarak, jalan setapak menurun curam, masuk lembah. Ketika GPS menunjukkan 60 meter, masih sekitar pertengahan lembah, tak satupun dari 3 GPS: Garmin eTrex, eTrex Vista, dan Garmin II, menerima sinyal satelit. Sampai di pohon yang kami perkirakan sebagai titik tujuan di dasar lembah, kami pun dapat melakukan resection dengan kompas, karena titik awal tak terlihat. Jadi kami tak pernah tahu apakah sudah mencapai titik 0. Lembah itu dalamnya sekitar 50 m, kemiringan dinding 45-600. Vegetasi campuran pohon besar berlumut hingga perdu, tidak rapat.
Kesimpulannya, jenis-jenis GPS yang kami coba sama sekali tidak berguna
dalam kasus tersebut. Diperkirakan Garmin 76CSX yang menggunakan teknologi SiRF masih mampu menangkap sinyal dalam kondisi serupa.
Kami kembali ke atas lewat jalan lain. Begitu mencapai bibir jurang, masuk
ke ‘hutan’ pinus yang jarang, sinyal kuat lagi.
Naskah: Heni Juhaeni, Harijanto Suwarno
0 komentar:
Post a Comment